watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

CINTA DAN LUKA

“In vijftien minuten, zullen wij bij Parijs
aankomen..”
Merinding bulu kuduk saya ketika tour guide
mengumumkan dalam bahasa Belanda bahwa
bus yang saya tumpangi akan tiba di tujuan
dalam waktu 15 menit. Keletihan tubuh karena 8
jam duduk di bus dikalahkan oleh keinginan
melihat kota yang begitu diagung-agungkan oleh
para pecinta yang romantis: Paris!
Sebelumnya, sekalipun di dalam mimpi, saya
tidak pernah membayangkan akan berada di sini.
Krisis ekonomi di Indonesia yang meluluh-
lantakkan karir dan kehidupan saya, ternyata
membelokkan alur perjalanan hidup saya.
Saya mengalihkan pandangan saya keluar, terlihat
beberapa pesawat di Charles de Gaulle airport.
Tanpa saya sadari, mobil yang lalu lalang di
highway A1 yang berawal dari Belgia ini
bertambah banyak. Perhatian saya segera tertuju
ke apartemen-apartemen yang kini berserakan di
pinggiran highway. Tidak terlihat adanya
perumahan, ciri khas kota metropolitan.
Steve, William, dan Agung teman kuliah saya
yang berasal dari Singapore, Malaysia dan
Indonesia juga terdiam menunggu tibanya bus
tersebut di hotel yang akan didiami selama empat
malam. Kemacetan di jalan raya semakin
bertambah, apalagi ketika bus keluar dari highway
dan menuju jalanan yang lebih kecil. Dengan tidak
sabaran saya memperhatikan jam tangan saya
yang sudah menunjukkan pukul 16:45. Di ufuk
barat, mentari musim dingin mulai
menyembunyikan dirinya.
“Come on, lets go out for nice dinner..” Steve
yang sekamar dengan saya mengajak makan
malam. Memang, perut saya yang kosong sudah
meminta sesuatu buat dicerna. Siraman air
hangat sewaktu mandi menghilangkan keletihan
tubuh saya dan mengantinya dengan perasaan
lapar.
Berjalan kaki, kami menyusuri kota Paris. Kota ini
begitu istimewa, keramaian dan kemacetan
jalannya mengingatkan saya pada London. Tetapi
design bangunan dengan ukiran dan patung-
patungnya sangat mencolok dan berbeda.
Hampir setiap bangunan mempunyai ciri khasnya
masing-masing dan begitu indah.
Sebuah Chinese restaurant di Boulevard
Montmarte menarik minat kami. Perut-perut yang
keroncongan akhirnya berteriak kegirangan ketika
nasi dan beberapa lauk menganjalnya. Memang
perut Asia kami lebih menikmati nasi
dibandingkan roti.
Dengan tambahan energy dari makanan,
perjalanan menyusuri kota Paris dilanjutkan
kembali. Di sepanjang jalan Boulevard Montmarte
ini hadir toko yang banyak menjual parfum,
pakaian dan makanan. Louis Vuitton, Giorgio
Armani, Christian Dior, dsbnya seakan-akan
berlomba memamerkan produk-produk
terbarunya.
“Eh, Hard Rock Café Paris!” seru William tiba-
tiba, “Lets have some drinks.”
Segelas Southern Comfort memberikan
kehangatan kepada tubuh saya. Duduk berempat
di café yang masih sepi, kami membicarakan
keindahan kota yang menakjubkan ini.
Selesai minum, kami berjalan keluar melalui toko
yang menjual sourvenir Hard Rock. Tertarik oleh
kaos hitam special edition café tsb, saya
mengantri di belakang dua orang cewek yang
lumayan manis. Perhatian saya segera tertuju ke
mereka ketika mereka mengobrol. Mereka
menggunakan bahasa Indonesia! Aneh rasanya
mendengar bahasa tersebut di tempat yang
begitu jauh.
“Hallo, dari Indonesia ya?” sapa saya ramah.
Mata kedua gadis di depan saya terbelalak, kaget.
“Iiiyaa..” jawab gadis yang berdiri di depan saya.
Tubuhnya yang kecil tertutup oleh jaket tebal
berwarna hitam. Rambutnya yang pendek dicat
merah dan matanya yang bulat terlihat jernih.
Perkenalan pun berlanjut, gadis tersebut bernama
Diana dan temannya bernama Elisabeth. Sungguh
enak mengobrol menggunakan bahasa yang
sudah lebih dari satu tahun tidak pernah saya
pakai. Alangkah sayangnya, pertemuan sekitar 10
menit tersebut harus berakhir ketika mereka
berjalan meninggalkan café tersebut bersama
teman-teman mereka. Entah karena suasana Paris
yang romantis, atau kerinduan akan cewek
setanah air, atau karena mata Diana yang bulat
dan jernih, jiwa saya seakan-akan terbang
bersama mereka. Saya termenung melihat
mereka menghilang di keramaian kota.
Bodoh! Goblok! Kenapa tidak meminta nomor
telepon? Atau e-mail? Penyesalan datang
melingkupi diri saya sesudah pertemuan tersebut.
Perasaan menyesal ini semakin menggelora ketika
keesokan harinya saya mengunjungi menara
Eiffel. Seandainya saja saya bisa menikmati
keromantisan kota Paris bersama Diana.
Seandainya..
Sang Pencipta ternyata mengasihani jiwa yang
penat menahan dahaga kasih sayang ini. Di
bawah Eiffel tower Sang Pencipta menunjukkan
kekuasaannya. Diana bersama temannya berdiri
di salah satu kaki Eiffel Tower, menunggu
kesempatan untuk naik ke menara tersebut.
Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Segera saya
membeli empat tiket yang berharga total 180
franc dan ikutan mengantri.
“Diana..” panggil saya, “Ketemu lagi!”
“Ehh.. kamu..” dia kaget. Tetapi dari sinar
matanya saya tahu kalau dia juga merasa senang.
Dan ini membuat jiwa saya melayang-layang.
Pembicaraan akrab berlanjut kembali. Diana dan
teman-temannya kuliah perhotelan di
Switzerland. Dia sudah lebih dari 3 tahun di sana
dan ini adalah tahun terakhirnya. Teman-
temannya berasal dari sekolah yang sama, cuma
beberapa dari mereka masih berada di tingkat
pertama atau kedua.
Saya berusaha selalu berdekatan dengan Diana,
dan mengenalnya lebih jauh. Jangan mau
kehilangan dia lagi.. bisik hati saya. Di lantai dua
Eiffel Tower kami berfoto bersama. Saat
mempunyai kesempatan berdua, saya berbisik di
telinganya, “Semalaman saya memikirkan kamu.”
Matanya yang bening menatap saya dan dia
berbisik lirih, “Saya juga.” Ingin rasanya saya
berteriak dan melompat kegirangan.
“On the romantic Seine’s river bank, the lovers go
hand by hand.”
Perjalanan menggunakan kapal menyusuri sungai
Seine melewati 22 jembatan merupakan
pengalaman yang tidak terlupakan. Dari kapal
yang kami tumpangi, kami bisa melihat pasangan
yang sedang mabuk cinta bergandengan tangan
dan berciuman di tepi sungai yang membelah
kota Paris tersebut.
Bulu kuduk saya merinding ketika kami melewati
gereja Notre Dame yang terkenal dengan cerita
The Hunchback of Notre Dame-nya. Bangunan
yang persis sama dengan bangunan di film
kartun yang saya tonton. Di sebelah saya Diana
terlihat termenung, entah apa yang sedang
dipikirkan.
“When you pass this oldest bridge in Paris, close
your eyes and make your wish. It will come
true.”
Saya menutup mata saya dan diam-diam
menyatakan harapan saya. Diana juga menutup
matanya dan menyatakan harapannya.
Seandainya saja saya tahu apa yang dia minta,
akan saya penuhi apapun keinginannya.
Melalui jalan mendaki menuju gereja Sacre Coeur,
saya mencoba memegang tangan Diana yang
tertutup sarung tangan merahnya. Dia tidak
menolak! Di sebelah saya Steve terlihat akrab
dengan Elisabeth. Mereka bercanda dengan
mesranya. Memang, di kota ini cinta mudah sekali
bersemi.
Jam baru menunjukkan pukul 17:30, namun
mentari sudah bersembunyi di peraduannya. Dari
halaman gereja berwarna putih yang terletak di
atas bukit ini, saya kehilangan kata-kata saya. Di
depan saya terpampang kota Paris dengan
lampu-lampunya yang berwarna-warni, begitu
menakjubkan. Dari kejauhan terlihat Eiffel Tower
yang terang benderang. Saya memberanikan diri
untuk memeluk tubuh Diana. Pelukan yang tidak
saya lepaskan sampai kami kembali ke kamar
hotel mereka.
Saya berbaring di kasur sambil melanjutkan
pelukan saya. Lengan Diana melingkari leher saya
dan kepalanya menyender di dada saya. Di kasur
sebelah saya Steve dan Elisabeth sedang
bercanda mesra.
Kekuatan cinta saya membuat saya berani
mencium pipinya, tanpa mempedulikan Steve
dan Elisabeth. Diana cuma tersenyum misterius.
Ciuman saya kemudian berlanjut ke bibirnya
yang merah merekah. Terasa bibirnya yang
sedikit kering karena dinginnya angin musim
dingin.
Kegilaan kami bertambah ketika Elisabeth
memadamkan lampu kamar. Dari sinar yang
masuk lewat jendela, saya bisa melihat mata
Diana yang sendu. Seperti magnet, bibir saya
kembali tertarik ke bibirnya, saling berpagutan
dengan mesranya. Perlahan Diana menarik
selimut menutupi tubuhnya. Saya menganggap
tindakan dia sebagai undangan untuk melakukan
hal yang lebih jauh. Saya ikutan menyusup ke
dalam selimut.
Jari-jari tangan saya mulai bergerilya menyusuri
sepasang gunung Diana yang masih tertutup
sweater. Usaha mencari puncak gunung tersebut
agak terganjal oleh tebalnya sweater dan bra
yang masih dikenakannya. Namun kekenyalan
gunung tersebut membuat tangan saya betah
bermain di sana, meremas dan meremas.
Kemudian tangan saya menyusup ke balik
sweaternya dan menyusuri kulit perutnya yang
mulus menuju dadanya. Dengan lincah jari
tangan saya menyusup ke branya. Ketika ujung
gunung kembarnya tersentuh, tanpa ampun jari-
jari tangan saya bermain di sana.
Jari tangan Diana ternyata tidak tinggal diam.
Kedua tangannya beralih ke ikat pinggang saya
dan berjuang melepasnya. Jari tangannya yang
cekatan berhasil melepas ikat pinggang saya
diikuti celana jeans dan celana dalam saya. Ketika
terlepas, saya menendang celana tersebut keluar.
Batang kemaluan saya yang terkekang berjam-
jam segera berontak menunjukkan kekuatannya.
Belaian tangan Diana membuat batang tersebut
mencapai kekerasan dan ukuran maksimumnya.
Tidak sabar, Diana membuka sendiri celana jeans
dan celana dalamnya. Sesudah itu dia berbaring
membelakangi saya, sepasang pinggul montok
dan mulus menekan batang kemaluan saya,
menan- tang dia untuk bertindak lebih lanjut.
Dengan tubuh masih tertutup selimut, jari tangan
saya menuju daerah kemaluannya. Terasa oleh
tangan saya rambut yang keras dan pendek.
Rupanya rambut tersebut dicukur! Jari tangan
saya akhirnya bermain di daerah klirotisnya,
memutar dan kadang menggosok dengan cepat.
Sekali-kali jari tangan saya masuk ke dalam liang
kewanitaannya yang sudah basah oleh cairan
kewanitaannya.
Mata saya beralih sebentar ke kasur sebelah.
Steve dan Elisabeth rupanya tidak mau kalah,
terlihat tubuh mereka yang juga tertutup selimut
saling menindih.
Akhirnya saya menggerakkan batang kemaluan
saya yang sudah tidak sabar menuju rongga
fovaritnya. Dari belakang saya mencoba
memasukkan batang tersebut, lumayan susah.
Dengan tuntunan tangan Diana, akhirnya batang
tersebut berhasil menyusuri goa kewanitaannya
yang sudah basah kuyub. Cengkraman otot liang
kewanitaan Diana pada batang kemaluan saya
membuat saya memejamkan mata. Saya
menggerakkan batang kemaluan saya, keluar
masuk, keluar masuk. Jari tangan saya masih
bermain di daerah klitorisnya.
“Ahh..” terdengar desahan Steve. Rupanya dia
sudah mencapai pulau kenikmatan bersama
Elisabeth.
Sekitar 5 menit kemudian, Diana menjerit histeris
tanpa mempedulikan kehadiran Steve dan
Elisabeth di ruangan tersebut. Satu badai
kenikmatan sudah dilalui.
“Kamu di atas ya..” bisik Diana dengan nafas
terengah-engah.
Saya mengambil posisi di atas, Diana dan kembali
memasukkan batang kesayangan saya. Kegiatan
keluar masuk yang tidak pernah membosankan
tersebut kembali berlanjut. Goyangan pinggul
Diana menambah kenikmatan yang saya rasakan.
Tanpa kami sadari, selimut yang menutupi tubuh
kami terbuka memamerkan kekekaran tubuh
saya dan sepasang buah dada Diana yang
menjulang indah. Saya membungkukkan tubuh
berusaha menjangkau puncak gunung tersebut
dengan lidah saya. Karena tubuh saya yang jauh
lebih tinggi, saya tidak berhasil melakukannya.
Tiba-tiba terasa ada kepala di samping saya. Saya
tercegang, rupanya Elisabeth sudah berdiri di
sebelah tubuh Diana. Matanya yang sayu
menatap wajah Diana. Perlahan dia mendorong
tubuh saya ke atas dan dia menggerakkan
mulutnya yang munggil ke gunung kembar
Diana. Dia menjulurkan lidahnya dan bermain di
sana. Diana membuka matanya yang tersenyum.
Dia membelai rambut Elisabeth!
Gila! Kata pertama yang melintas di kepala saya.
Peduli Amat! Kata kedua yang membuat saya
memutuskan untuk jalan terus.
Saya memperbaiki posisi saya, tangan saya
menahan sepasang kaki Diana yang tertekuk
membentuk sudut 90 derajat dengan tubuhnya
dan dengan posisi berlutut saya memasukkan
batang kemaluan saya setelah sebelumnya
menganjal pinggulnya dengan bantal.
Selanjutnya hujaman batang kemaluan saya
semakin ganas, sementara lidah Elisabeth masih
bermain di dada Diana. Tidak terlukiskan dengan
kata teriakan histeris Diana saat itu. Teriakan
Diana, pemandangan lidah Elisabeth yang sedang
bermain di buah dadanya Diana, dan perasaan
sayang yang menggebu-gebu membuat saya
tidak bisa bertahan lama walaupun segala teknik
menahan ejakulasi sudah saya keluarkan.
Akhirnya batang kemaluan saya menumpahkan
cairan putihnya di dalam tubuh Diana.
Tetesan air mata mengantar perpisahan kami
berpisah di tanggal 30 Desember 2000. Saya
kembali ke Amsterdam dan dia kembali ke Swiss.
Sampai saat ini, harapan saya saat melewati
jembatan tertua di kota Paris tidak terpenuhi.
Sebenarnya harapan saya adalah, “Hidup
berbahagia bersama Diana selamanya!”
“Saya tidak pernah bisa mempercayai lelaki
kembali. Tiga tahun lalu di sini, Paris, saya
menyerahkan milik saya yang paling berharga
kepada pria yang sangat saya sayangi. Ternyata
dia penipu, dia sudah beristeri. Luka tersebut
meninggalkan bekas yang sangat dalam dan tidak
ada satu lelakipun yang bisa menyembuhkannya,
saya berbahagia bisa bertemu dengan kamu.”
“Diana.. Diana.. mengapa kamu tidak mau
memberikan kesempatan kepada saya? Akan
saya buktikan bahwa tidak semua lelaki itu
bangsat! Cinta memang mengakibatkan luka,
namun luka tersebut hanya bisa disembuhkan
kembali oleh cinta.” Cuma itulah yang bisa
ucapkan ketika membaca mail terakhirnya


Adult | GO HOME | Exit
1/619
U-ON

inc Powered by Xtgem.com